IBU, AJARI AKU MENJADI SALIHAH
Part 2
Berkata yang Baik dan Lembut
Hafshah saat ini duduk di bangku kelas tiga. Ia sudah terbiasa mandiri, karena Ibu tidak terlalu memanjakannya. Gadis kecil itu begitu rapi dan bersih. Setiap bangun tidur ia selalu merapikan tempat tidurnya, karena ia sangat mencintai kebersihan, kata Ibu kebersihan sebagian dari iman. Setelah semuanya beres ia pun segera menunaikan salat Subuh. Satu hal yang membuatnya malas setiap pagi, ia harus berebut kamar mandi dengan Hisyam adiknya.
Hafshah menyampirkan handuk di bahunya sambil berjalan dengan gontai, matanya tertuju pada pintu kamar mandi yang ternyata sudah didahului adiknya. "Hisyam! Buruan! Kakak juga mau mandi," teriaknya dari luar seraya menggedor pintu.
"Iya, sebentar!" Deru suara air terdengar dari luar.
Hafshah menunggu dengan sangat gelisah, ia takut terlambat datang ke sekolah. Jika itu terjadi, ia pasti diledek teman-temannya, sebab ia harus berdiri dengan satu kaki sambil merapalkan hafalan qur'annya di depan kelas. Hafshah semakin tidak sabaran dibuatnya ketika membayangkan jika hal itu terjadi.
"Hisyam, buruan!" Hafshah terus menggedor-gedor pintu dengan sangat kuat, ia mengomel tidak karuan, suaranya sangat cempreng. Bahkan, terdengar sampai ke kamar Ibu.
"Astagfirullah, Hafshah, suaranya keras sekali.” Ibu langsung menutup al quran, lalu menaruhnya ke dalam lemari, kemudian melepas mukena yang masih dipakainya. Mendengar teriakan putrinya itu Ibu bergegas ke luar kamar. Ia tak habis pikir dengan kelakuan putrinya yang belum juga berubah, padahal sudah sering diingatkan oleh Ibu.
Tidak butuh lama Ibu pun sudah berdiri di samping Hafshah. "Nak!" panggil Ibu dengan nada lembut. "Kenapa sampai berteriak seperti itu, Sayang?"
Baca Juga : IBU, AJARI AKU MENJADI SALIHAH Part 1
"Hisyam lama banget, Bu. Hafshah, kan, bisa telat." Wajahnya cemberut dan bibirnya juga sedikit maju.
Ibu langsung memeluk putri kecilnya, agar amarahnya mereda. "Hisyam, buruan, Sayang. Kakak juga mau mandi, Nak!" titah Ibu.
"Iya, Bu," jawab Hisyam dari dalam kamar mandi.
Ibu kembali menoleh ke arah Hafshah yang sedang berdiri sambil bersandar di dinding. Masih dengan ekspresi kesalnya. "Apa anak Ibu yang salihah ini tidak bisa berbicara dengan lembut?"
"Maaf, Bu. Hafshah …."
"Nak, Mukmin yang sejati adalah yang perkataannya baik, lembut dan penuh hikmah. Sebaliknya, perkataan yang tidak baik, kasar dan jauh dari hikmah ini bukanlah sifat-sifat orang yang beriman. Di antara adab yang buruk dalam berbicara adalah suka berteriak-teriak. Sebagaimana firman Allah dalam al Quran surah Luqman ayat ke-19 yang artinya begini: "... dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai."
Dari luar terdengar suara seseorang yang sedang membuka pintu. "Kakak gak sabaran amat, aku tadi buang air besar dulu," jawab Hisyam sembari melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi dengan memakai handuk yang membalut tubuhnya. "Kalau lagi pup, kan, gak boleh ngomong," lanjutnya.
"Habis, kamu lama banget. Kakak, kan, bisa telat. Nanti dimarahin sama Ustazah." Kali ini suara Hafshah tidak lagi meninggi. Ia berusaha berbicara dengan pelan kepada adiknya.
Ibu mencoba menenangkan suasana hati Hafshah. "Nak, Hafshah mandi dulu, ya!" Ibu menyuruhnya untuk segera mandi, agar tidak semakin terlambat berangkat ke sekolah. "Hisyam bersiap-siap juga, ya, Nak." Ibu mengelus rambut putranya yang berantakan usai mandi. "Setelah selesai jangan lupa sarapan, ya,” lanjutnya.
Anak lelaki itu yang memiliki tahi lalat di pipinya itu mengangguk. Hisyam sosok anak yang baik dan penurut. Usianya terpaut dua tahun lebih dengan kakaknya, Hafshah. Saat ini Hisyam duduk di bangku kelas satu. "Baik, Bu," jawabnya sambil berjalan menjauh menuju kamar.
Setelah semuanya selesai bersiap-siap, sarapan juga sudah, kemudian Ibu mengantarkan mereka hingga ke depan rumah sembari menunggu mobil jemputan tiba. Biasanya mereka diantar oleh Ayah, tetapi hari ini Ayah sedang pergi ke luar kota.
"Hafshah, Ibu harap kedepannya anak salihah Ibu tidak berteriak-teriak lagi ya, Nak. Tidak baik seorang muslimah berteriak dengan kencang seperti tadi," kata Ibu saat mereka sedang duduk menunggu di teras rumah. Gadis cantik yang memakai topi merah di kepalanya itu hanya diam dan tertunduk.
Tidak berselang lama, mobil jemputan datang. Di dalam sana sudah ada Nadia, sahabat Hafshah. "Hai, Hafshah, ayo buruan naik," sapanya.
Hafshah dan Hisyam mencium tangan ibunya, lalu berpamitan untuk pergi ke sekolah. "Bu, kami pergi dulu, ya, assalamualaikum." Baru saja gadis berjilbab putih itu sampai di pintu mobil, ia berbalik badan dan berlari ke arah ibunya.
"Ibu, maafin Hafshah, ya. Insyaallah Hafshah akan berkata lembut dan tidak teriak lagi," ucapnya sambil memeluk sang Ibu.
"Masyaallah. Alhamdulillah anak Ibu sudah sadar akan kesalahan sendiri. Sekarang Hafshah sekolah, belajar yang rajin dan satu lagi permintaan Ibu, jaga adik, ya, Nak."
"Iya, Bu. Siap!" Hafshah berdiri dengan tegap seraya memberi hormat. Ia tersenyum lebar, kemudian segera berlari masuk ke dalam mobil.
"Dadah, Ibu," ucap Hafshah dan Hisyam serentak sambil melambaikan tangan dari balik kaca mobil seiring dengan lajunya menuju Sekolah.