Gombyok di Pinggang Dullah
"Kenangan djaman membawa kami ke satoe roeang, ke satoe tempat, ke satoe langit, ke satoe repoloesi. Repoloesi ini ialah Repoloesi Indonesia."
(Inskripsi lukisan Kawan-kawan Revolusi)
***
Pasti ada alasan mengapa Soekarno menyukai lukisan wajah belaka itu. Sampai-sampai ia menempatkannya di Istana Negara Jakarta. Berharga, mungkin. Atau ada sesuatu hal dibalik pembuatannya. Atau barangkali orang yang membuatnya istimewa bagi sang Presiden. Entahlah. Menerka memang tak akan membawa jawaban sampai ke daun telinga. Bahkan Bung Karno membelinya dengan cara menghutang, dan baru terbayar setelah dua tahun kemudian di tahun 1949 saat terjadi Agresi Militer II di Yogyakarta. Sang Pelukis memberanikan diri dengan menampakkan niat baik menemui Soekarno kala itu.
"Maaf, Bung, kami datang dengan hati yang berat. Tapi apa mau dikata, kami sedang membutuhkannya." Seyogyanya ada perasaan sungkan di hati lelaki sederhana itu.
Soekarno menatapnya dengan penuh rasa iba serta prihatin melihat pakaian lelaki itu yang begitu kumal. "Menagih hak itu adalah suatu kewajiban, bukan?"
Usut punya usut, Soekarno sebenarnya tidak memiliki uang yang cukup untuk menebus lukisan kesayangannya.
Usai mengurai dialog singkat, akhirnya Soekarno menawarkan pakaian bekas yang masih sangat bagus kepada sang Pelukis yang duduk di depannya. Di samping itu Ibu Fatmawati juga memberikan sejumlah uang kepada lelaki yang berpakaian lusuh itu.
Apa istimewanya sebuah lukisan? Sampai berutang karenanya.
Karya seni yang dibuat dengan menggunakan cat minyak di atas kanvas ukuran 95 cm x 149 cm dan alat kuas lukis serta alat lainnya itu tampak menawan dengan gradasi warna, dengan kedalaman warna tertentu juga komposisi warna yang pas. Sama seperti lukisan lainnya, tetapi lukisan yang satu ini berhasil merebut seonggok daging di dalam dada Soekarno, sampai-sampai saat tamu berkunjung ke Istana ia selalu berkisah dengan menggebu-gebu perihal lukisan itu. Terkadang cinta memang butuh alasan, entah apa.
Selembar lukisan memang begitu adanya, indah untuk dipandang dan dikenang segala peristiwa yang melekat bersamanya. Beralih tempat jika ada yang memindahkannya. Hidupnya dari tangan satu ke tangan yang lain. Digantung di dinding menjadi pemuas mata yang memandang. Tentu ini bukan lukisan biasa hingga berada istimewa di dalam istana yang diboyong langsung oleh orang nomor satu di Indonesia.
***
Tiada yang tahu kalau mereka bercakap-cakap di dalam selembar kanvas itu. Siang, malam, mungkin bisa kapan saja.
Lelaki yang berada tepat di deretan tengah, sosok ketiga dari kanan lukisan yang tampak gagah dengan pet hitam miring, topi khas laskar zaman revolusi. Masih muda dan bersahaja. Hanya orang biasa, yang memiliki cita yang dibingkai cinta untuk negara. Ia bertanya tentang perihal siapa yang menciptakan mereka sedemikian rupa?
Lelaki di sampingnya yang sedang serius menatap entah ke arah mana menjawab dengan suara datar. "Apa perlunya mengetahui itu? Kita ini hanya sebuah goresan yang diberi warna, manusia bisa saja membuat lukisan sesuka hatinya, termasuk wajah-wajah orang biasa seperti kita."
"Kalian siapa?" tanya salah seorang lelaki tanpa pet dengan dahi lebar, rambut disisir kebelakang, posisi sedang menoleh ke kiri, yang juga merasa asing dengan orang-orang di sekelilingnya.
"Mengapa kita dikumpulkan?"
Tak ada yang tahu pasti mengapa mereka diciptakan dan dikumpulkan dalam bingkai ini. Tanya yang belum jua kunjung mereka dapatkan jawabannya semenjak mereka berada dalam kanvas itu. Manusia-manusia yang hidup sibuk menatap kagum rupa warna mereka ketika sosok Soekarno menganggap mereka istimewa. Di dalam sana, mata yang penuh cinta tersirat secara jelas. Ada darah sebagai ganti untuk sebuah pertahanan kemerdekaan Indonesia yang mereka perjuangkan, yang dibayar nyawa.
Siang itu Soekarno kedatangan tamu di Istana Negara. Dengan ramah ia menyambut tetamu yang baru saja tiba. Bung Karno mempersilakan tamunya minum teh dan makan kue-kue yang sudah dihidangkan. Ini sudah menjadi kebiasaannya saat menyambut tamu. Di tengah pembicaraan ia tak pernah lupa memamerkan sederet lukisan. Begitupula kepada rombongan kesebelasan sepak bola asal Uni Soviet, Lokomotif. Dengan penuh gairah dan semangat ia menceritakan tentang sosok Dullah, tokoh sentral dalam lukisan yang menawan hatinya.
Lelaki berbaju putih dipadu dengan jas putih sebagai outer, ada saku di depan sebelah kiri dan kanan. Di dalamnya memakai kemeja putih juga dasi warna hitam, dan tak kalah pentingnya peci hitam, menjadi identitas kebangsaan yang sudah menjadi ciri khasnya. Ia berdiri tepat di depan lukisan dengan bingkai kayu yang menggantung di dinding nuansa putih. Ia memperagakan berbagai gerakan saat bercerita, mengepal kedua tangan dengan tatapan tajam kedepan, kadang tangannya ke atas, ke samping dan melakukan gerakan seperti melempar, sesekali berlari di tempat. Dullah benar-benar telah merebut hatinya. Ia bercerita seolah melihat langsung perjuangan lelaki sederhana yang bersahaja di dalam kanvas yang dilukis langsung oleh Soedjojono dalam tempo kurang dari satu hari.
Bung Dullah, begitu orang memanggilnya. Ia gugur ketika menyerang iring-iringan tank tentara Belanda. Waktu mencabut picu granat gombyok dari pinggangnya, serbuk kimia dan mesiu di dalamnya keburu bereaksi. Tapi sebelum granat meledak di pinggangnya sendiri, Bung Dullah langsung menubrukkan diri ke tank Belanda sehingga tank itu hancur berkeping-keping menyisakan asap yang mengepul hitam di udara. Total ada empat tank Belanda yang berhasil dihancurkan berikut tubuhnya.
Granat gombyok yang meledak bersama Dullah itu granat kreasi para laskar di zaman revolusi. Terbuat dari mesiu dan campuran bahan kimia lain yang dimasukkan kedalam sebuah cawan besi berisi serpihan besi dan paku. Pada bagian granat itu terdapat kain (gombyok) yang menyerupai ekor. Dullah bertugas sebagai pelempar yang membawa beberapa granat gombyok di pinggangnya. Minimnya persenjataan di pihak Republik melahirkan berbagai inovasi kreatif yang kadang membahayakan nyawa para tentara sendiri, seperti yang dialami Dullah.
Demikian cerita Bung Karno kepada rombongan tamu Negara.
Usai bercerita selaras dengan semangat, duka ikut serta menyelimuti orang-orang di ruangan itu, air wajah mereka berubah sendu.
Siapa bilang lukisan itu tak mendengar. Mereka mendengar dengan caranya, alam yang menyampaikan pesan itu, terjawablah tanya para manusia istimewa di dalam kanvas sana. Mereka berasal dari dua kalangan, kalangan pejuang dan simpatisan pejuang, ada juga enam tentara dan selebihnya adalah pelukis dan kritikus sastra, mereka beramai-ramai mengucapkan selamat kepada pahlawan revolusi yang berada di tengah-tengah mereka—Dullah—atas keberaniannya.
Tak hanya Bung Dullah, total ada 19 wajah belaka di dalam lukisan legendaris itu. Salah satunya wajah Tedjabayu yang saat itu masih berusia tiga tahun. Sosok wajah anak kecil dengan mimik menangis terletak tepat di bawah posisi wajah Dullah. Waktu itu Tedjabayu sedang rewel. Lalu oleh Bapak angkatnya Soedjojono diletakkan di sebuah kursi, lantas wajahnya juga dilukis.
"Bukankah kalian juga pejuang, wahai kawan-kawanku. Aku yakin, jika kalian di posisiku, kalian akan melakukan aksi yang sama, " balas Dullah atas ungkapan kebanggan dari teman-teman seperjuangan. "Aku tidak punya apa-apa yang bisa kupersembahkan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, tetapi aku punya nyawa dan kesempatan. Maka, aku tak akan menyia-nyiakannya." Mungkin kata-kata itu yang akan Dullah sampaikan terhadap aksi heroiknya jikalau ia masih hidup kepada orang-orang kala itu.
Inginnya mereka saling berangkulan. Tetapi mereka sadar, mereka hanya sebuah lukisan di atas kanvas. Pandang mereka tak searah, dan posisi juga tak sejajar sama lurus. Dan tak ada yang bisa mendengar suara mereka. Pun tak bergerak. Walau mereka pernah robek akibat terkena bayonet milik tentara Belanda yang merangsek ke Gedung Agung pada Agresi Belanda kedua pada bulan Desember tahun 1948. Namun, kemudian bisa direstorasi kembali oleh Dullah sang pelukis ternama di masa itu.
"Wahai, anak kecil, bisakah kau katakan kepada Bapakmu, sampaikan terima kasihku, lelaki seniman hebat itu telah mengumpulkan aku bersama para pejuang revolusi yang tangguh di atas kanvas dan mengabadikan nama serta wajah kami dalam lukisan bertajuk Kawan-kawan Revolusi ini, sebagaimana yang kita dengar barusan dari bibir Bung Karno," ungkap Dullah.
"Tentu saja, dengan senang hati akan kusampaikan kepada bapakku Sindoedarsono Soedjojono."
Begitu kira-kira obrolan sebuah lukisan di dinding istana. Bertanya-tanya tentang diri mereka sendiri, lalu mencuri kabar dari mulut manusia yang hidup di sekitarnya.
Agaknya cerita Soekarno membuat para pemimpin rombongan Bubukin terenyuh, dan mereka pun mengheningkan cipta di depan lukisan Bung Dullah—lelaki yang gugur dalam ledakan dan kepulan asap hitam.