IBU, AJARI AKU MENJADI SALIHAH

0






 Part 1

Mensyukuri Nikmat Allah


Hafshah Muthia Asmi, gadis kecil yang berusia tujuh tahun itu sedang duduk di sofa dekat jendela sambil menatap ke luar dari balik kaca. Hari ini adalah hari Ahad, hari libur Hafshah, Hisyam, dan Ayah. Hari yang sangat ditunggu-tunggu olehnya, sebab Ayah berjanji akan mengajak liburan ke pantai. Akan tetapi, cuaca pagi ini benar-benar tidak mendukung mereka untuk pergi berlibur. Dari sejak subuh hujan tidak kunjung reda, sepertinya di luar sana hujan sangat deras, sampai-sampai halaman rumah sudah digenangi air. 

Dalam bayangan Hafshah pagi ini seharusnya mereka sudah berada di pantai, bermain pasir dan bersenang-senang bersama keluarga tercinta, padahal sudah sejak dua pekan yang lalu Hafshah menunggu hari ini tiba. 

"Gagal, deh, pergi jalan-jalannya," gumamnya dengan raut wajah sangat kecewa. Matanya berkaca-kaca, hatinya bergemuruh sebab kesedihan melanda hatinya.

Ibu sedari tadi sudah memperhatikan putri sulungnya dari arah dapur, perlahan  Ibu berjalan mendekati Hafshah yang sedang termenung dan lesu. "Anak Ibu salihah kenapa? Kok, wajahnya cemberut gitu?" tanya Ibu dengan lembut sambil menghapus air mata yang membasahi pipi putri tercintanya.

"Hafshah kesal, Bu. Kenapa hari ini hujan? Kita, kan, mau pergi jalan-jalan. Gara-gara hujan kita tidak jadi pergi." Wajahnya merah padam seraya memangku tangan. 

Ibu hanya tersenyum, lalu duduk di samping Hafshah sembari merapikan rambut putrinya yang terjulur dari balik jilbab. "Hafshah, mau nggak membantu ibu, sambil menunggu hujannya reda?" tanya Ibu kemudian.

Hafshah hanya mengangguk lemah, dengan penuh semangat Ibu menuntun tangan Hafshah berjalan menuju dapur. "Maukah Hafshah bersedekah pagi ini?"

Matanya melirik ke plafon rumah, ia sedang berpikir. "Em, Hafshah gak punya uang, Bu. Tadi uang yang dikasih Ayah sudah aku tabungin ke dalam celengan kitty."

"Sedekah dengan yang lain juga bisa. Nggak harus dengan uang." Ibu dan Hafshah masih terus berjalan menuju dapur. 

"Emang iya, Bu?" Langkah gadis berkulit putih itu terhenti.

"Seperti ini." Ibu mencontohkannya kepada Hafshah. 

"Senyum, maksud Ibu?"

"Iya, Sayang. Senyum itu bagian dari sedekah yang paling mudah.”

"Begini ya, Bu?" Hafshah mempraktikkannya. Bibirnya melebar, lalu ditahan beberapa detik. Ia terlihat sangat cantik, ditambah satu lesung pipinya di sebelah kiri. 

"Nah, gitu dong, anak ibu jadi semakin cantik." Ibu mencubit sayang pipi putrinya yang tembam. Ibu selalu bisa mencairkan suasana.


Baca Juga : IBU, AJARI AKU MENJADI SALIHAH Part 2


Sambil menghela napas panjang Ibu pun memutuskan untuk membuat pancake saja pagi ini. Lumayan, bisa jadi cemilan saat berkumpul bersama keluarga. Apalagi sedang hujan begini, pasti perut menjadi sering lapar. Ibu juga berharap ini bisa menghibur Hafshah, sehingga ia tidak bersedih lagi, sebab putri cantiknya sangat menyukai pancake.

Setelah beberapa waktu kemudian Ibu masih melihat putrinya bersedih. Ternyata usaha Ibu belum berhasil membuatnya senang. "Sayang, kok, masih cemberut aja?"

Hafshah masih merasa kesal sama hujan, sebab sudah membuatnya batal pergi liburan minggu ini. "Aku benci hujan, Bu!"

"Nak, hujan yang turun itu adalah rahmat Allah. Kalau Hafshah mencela hujan itu artinya anak salihah Ibu tidak mensyukuri rahmat Allah. Sayang, di dalam  Al quran Allah menjelaskan, manfaat hujan yang diturunkan ke bumi untuk menyuburkan tanah yang tandus dan kering kerontang, sehingga dari tanah ini tumbuh tanaman. Tumbuhan itu kemudian bermanfaat bagi kehidupan makhluk hidup serta memanjakan mata bagi siapa saja yang memandangnya."

Hafshah menunduk, ia mencoba merenungi nasihat ibunya. Setelah beberapa menit, Hafshah berjalan ke arah jendela dekat ruang makan. Matanya mengarah pada taman di belakang rumah.

"Seperti bunga-bunga itu ya, Bu?" Hafshah menunjuk tanaman bunga yang ditanamnya bersama Ibu beberapa waktu lalu, sudah dua hari ini ia lupa menyiramnya.

"Iya, Sayang. Seperti bunga-bunga itu dan tumbuhan yang lainnya. Mereka butuh air. Apalagi tumbuhan yang ada di perbukitan sana. Siapa yang menyiramnya? Itulah mengapa Allah turunkan rahmat berupa hujan."

"Iya, Bu, Hafshah mengerti sekarang." Kali ini gadis itu sudah mulai mengukir senyum di bibirnya. Perlahan ia berusaha menerima ketetapan Allah ini. “Gagal sekarang, minggu depan masih bisa pergi, iya, kan, Bu?” 

Ibu tersenyum sambil menampakkan gigi putihnya. Tidak terasa pancake buatan ibu tinggal menunggu proses pengukusan, obrolan Ibu bersama Hafshah yang begitu bermakna, membuat waktu tidak terasa berlalu begitu cepat.

Sambil menunggu pancake matang, Ibu mengajak Hafshah untuk berdoa. "Allahumma shoyyiban nafi'an. Ketika hujan turun, ini adalah waktu yang terbaik juga untuk kita berdoa, Nak."

Hafshah langsung mengikuti apa yang dilakukan oleh Ibu, mengangkat tangan lalu berdoa, "Allahumma  shoyyiban nafi'an. Ya Allah maafin Hafshah, tadi marah-marah saat engkau menurunkan hujan. Jadikanlah Hafshah anak yang salihah Ya Allah. Aamiin."

"Aamiin." Ibu memeluk putri cantiknya dengan hangat dan berkata, "Ibu bangga sama Hafshah. Jadilah anak yang selalu bersyukur dengan rahmat Allah ya, Nak."

"Iya, Bu. Hafshah juga bangga sama Ibu. Jangan bosan membimbing  Hafshah menjadi anak salihah, ya, Bu."


Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)
To Top