KETIKA LANGIT BERUBAH MERAH

0

 









KETIKA LANGIT BERUBAH MERAH

Oleh: Ratna Windasari




Kanaka terdiam membantu. Tatapannya nyalang tetapi kosong, seakan-akan ia tengah memandang isi kepalanya sendiri. Pikirannya meliuk-liuk terbang di benaknya. Kadang ia melihat tumpukan tanah sebesar gunung Himalaya di depannya. 


Terkadang juga melihat tanah berserakan di mana-mana, padahal sedang berada di dalam rumah dengan lantai marmer. Jika sudah begitu, maka Kanaka langsung mengambil cangkul, lalu menggali semua yang ada di hadapannya. Pernah ia mencungkil tangannya sendiri, seperti mencungkil benda yang tertancap di tanah. 


“Ayah, hari sudah hampir petang. Lihatlah, sebentar lagi langit berubah merah." Wanita itu berkata sambil menunjuk ke arah jendela. Ini jurus terakhir yang bisa dilakukan Naolin agar lelaki itu mau beristirahat. Kalau tidak ia akan duduk mematung sampai berhari-hari menatap dinding berwarna putih. 


Jika sudah mendengar langit berubah merah, maka Kanaka menjadi ketakutan, kemudian ia segera patuh saja. Begitulah cara wanita itu membujuknya. 


***


Hari ini genap enam tahun Kanaka mengalami depresi berat. Ia kerap bertingkah aneh. Suasana batinnya sering bergolak, marah tanpa sebab. Mengamuk tak jelas. Karena itulah, para warga sepakat untuk memasungnya di dalam kamar, sebab khawatir akan ada yang terluka ulahnya. 



"Enyah kau dari sini! Enyahlah, dasar penghianat!"

Kanaka berteriak memukul-mukul dirinya sendiri. Sampai tak terkendali. Rantai pengikat tangannya saling beradu, membuat suara berisik, ditambah teriakan-teriakan yang tak menentu. Tak ada yang mengerti dengan sikapnya, dan untuk apa juga memahami orang gila.


Hampir setiap malam Kanaka termangu mematung di sudut ruangan kosong, tak ada benda apa pun di sana, kecuali dirinya, pasung yang terbuat dari kayu jati nan kokoh, dan rantai yang melilit tangannya. Lelaki berambut gimbal dengan janggut panjang itu benar-benar berada di titik terendah dalam hidupnya. Tempat di mana tak seorang pun menginginkannya, kecuali orang-orang yang sedang berputus asa. Ia sedang dirangkul kuat oleh kepiluan. Merana sendirian. Siapa yang mau peduli? Mungkin seekor nyamuk pun enggan mendengar keluhannya, ratapannya, serta racaunya malam ini. Pun malam-malam sebelumnya.


Lelaki yang tubuhnya kurus kering yang tinggal hanya daging pembalut tulang itu pernah kehilangan miliknya yang berharga, yaitu kepercayaan, hingga akhirnya ia menjadi sosok yang terlupakan. Semua orang menutup mata atas keburukan yang menimpanya ulah masa lalu yang diperbuat di atas tanah leluhurnya sendiri.


Dan semakin hari kehidupannya semakin memprihatinkan. Di tengah keadaan jiwanya yang terguncang, ia hanya tinggal seorang diri. Pada saat yang sama, sang istri telah pergi ke pulau seberang dan menikah dengan lelaki lain, tak lama setelah Kanaka berubah perangai, suka berlaku kasar, dan juga aneh. 


Karena keadaan itulah, tak ada orang yang menjaga Kanaka. Tidak para keluarga jauhnya, apalagi orang-orang yang sama sekali tak punya hubungan kerabat dengannya.


Naolin, wanita yang selama ini merawat Kanaka, memberinya makan, dan sesekali meminta bantuan suaminya untuk memandikan lelaki malang itu. Beruntung masih ada manusia yang memiliki hati seperti dia. 



Di tengah lamunan atas keprihatinan wanita itu, tiba-tiba Kanaka tergelak, sesekali terbahak, lantas berucap, “Lihatlah nanti, kalau para politikus dan pengusaha busuk itu berani-berani memasuki tanah leluhurku, mereka akan menuai petaka!” tuturnya, dengan raut yang kemudian berubah geram. Matanya nyalang, seakan-akan bijinya mau keluar. Terdengar gemeretak rahang mulutnya. Hal itu membuat Naolin cemas, tetapi tetap bersikap tenang.


Naolin tidak tahu bagaimana cara menanggapinya, dan ia memilih untuk diam saja, sebab khawatir salah bicara dan malah membuat lelaki yang tengah bertelanjang dada itu bertingkah semakin liar. Dengan cepat ia menyiapkan keperluan sang Ayah. 


“Kau masih di pihakku, kan?” tanyanya, tegas, sambil melirik anaknya.

Dengan terpaksa, wanita yang mengenakan kebaya motif bunga itu merespons, “tentu, Yah.”


Ia lantas tertawa pendek. “Baguslah. Jangan coba-coba berkhianat!”




***


"Ambil uang ini, dan tinggalkan tanah ini!" Lelaki dengan jas hitam yang mengenakan sepatu pantofel mengkilap serta berpenampilan necis itu berteriak sambil menyerahkan koper hitam berukuran sedang kepada kepala desa yang dihadiri oleh para warga lainnya. 



"Kami tidak bisa membuat tanah, kami juga tidak bisa menanam tanah supaya menjadi tanah. Kami tidak bisa melahirkan tanah, Tuan."



"Kita tidak bisa menanam tanah supaya dipupuk menjadi tanah. Kalau seperti sawit, ditanam sawit tumbuh sawit. Tanam tanah tidak bisa tumbuh jadi tanah, tidak ada yang tanam tanah menghasilkan tanah. Kalau tanah itu bisa ditanam atau bisa dilahirkan oleh manusia, maka belilah dan jualah sesukamu. Ini tanah leluhur kami.


Warga Duku Ambun protes kepada pengusaha sawit yang terus bersikeras meminta warga agar mau menjual tanahnya.


"Kalian akan dapatkan ini," kata sang pengusaha sambil menjentikkan jari telunjuk dan ibu jari. “Hidup enak dan bergelimang harta.”


"Kami hidup dari bertani. Sesusah apa pun kami masih mendapat sesuap nasi dari tanah leluhur kami. Karena itulah kami tidak mau kehilangan tanah leluhur ini. Kami berjuang untuk mempertahankan sekalipun kami harus mati di atas tanah ini. Kami tak akan me jualnya walau hanya sejengkal," tegas Kepala Desa. 


Sudah dua tahun terakhir pengusaha itu mengincar desa Duku Ambun untuk dijadikan lahan kebun sawit bagi sang penguntit untuk para perut buncit berdasi itu. Berbagai rayuan ia luncurkan. Pun lunak gigi daripada lidah juga mereka usahakan.



Suatu ketika, seorang lelaki yang  berpendidikan tinggi ahli kehutanan turun ke hadapan mereka. Teori dan logika dimainkan dengan sedemikian rupa. Ajaibnya kata-kata sang ahli serta nalar yang bisa diterima membuat ia disegani oleh para warga, perlahan bujuk rayunya termakan juga.


Sampai akhirnya penduduk bertekuk lutut di bawah kertas-kertas merah berlogo emas yang bertebangan di udara. Mereka meraupnya dengan suka cita. Mereka lupa kalau sudah melucuti tanah leluhur mereka sendiri.



Tak hanya sekadar ucapan terima kasih, pengusaha itu menghadiahi berbagai fasilitas lengkap. Rumah, kendaraan dan lainnya.


"Apa yang harus kuucapkan kepadamu, Kanaka. Luar biasa, hebat atau … " Ia terkekeh. "Engkau berhasil merayu mereka. Kini, tanah ini milikku. Kuasaku seorang."  Ia terbahak puas.



Lelaki yang berdiri di sampingnya tersenyum dengan bangga atas usaha dan kerja kerasnya. Tak sia-sia ia melobi setelah gagal berkali-kali. Kali ini Kanaka bukan lagi lelaki sederhana yang bisa orang-orang ejek seenaknya. Berhektar-hektar tanah mampu ia beli detik ini juga, tanpa harus bertanya harga. 



Lagi dan lagi, mimpi yang sebenarnya nyata itu selalu menghantuinya. Kejadian muasal yang membuatnya depresi dan dicap gila oleh warga setempat. Saat tersadar Kanaka berusaha memukul-mukul dirinya. Mengamuk. Berteriak seperti orang kerasukan. 


Mendengar pekikan itu, Naolin tergopoh-gopoh menghampiri Kanaka. Lalu ia berkata, "Ayah, di luar langit sudah berubah merah." 


Seketika Kanaka  terdiam. Ketakutan. Tubuhnya menggigil, karena menganggap langit yang memerah pertanda para leluhur sedang marah kepadanya. 



Menjual tanah leluhur sama saja menjual tulang-belulang dan roh para leluhur. Berarti orang-orang yang menjual tanah berada dalam kutuk, murka dan malapetaka dari leluhur dan juga Tuhan. Uang yang diperoleh pun jadi kutukan bagi yang menjual. Begitu kepercayaan mereka selama ini, yang ternyata Kanaka langgar.



Setelah diam, Kanaka kembali bersuara. "Tanah itu sudah tak lagi hijau, Lin. Pohon Flamboyan, Pohon Palem, Cemara Pensil, Pohon Angsana, dan pohon lainnya sudah menjelma menjadi tiang-tiang raksasa nan perkasa. Udara segar kian lindap ditelan kepulan asap. Air-air yang mengalir dengan mesra kini tercemar sudah. Fungsi alam ini sudah berubah, Naolin. Seperti aku, Kanaka yang bodoh."


Mendengar racau sang Ayah, Naolin tersenyum, kata-kata itu terdengar hangat di telinga, seolah ayahnya yang dulu telah lahir kembali. 


"Ayah." Penuh kehati-hatian Naolin memanggilnya.

Namun, saat detik berlalu, sebelum Naolin sempat menggapai tangan sang Ayah. Kanaka tertawa bercampur tangis yang menyayat-nyayat. Matanya merah menatap keluar jendela.

"Langit sudah memerah, Lin. Dia marah kepadaku." Lelaki itu kembali ketakutan sambil merintih pilu."

Naolin pun berbalik kebelakang, menahan air mata yang akan tumpah. Ia berlari menjauh dari Kanaka. 

"Kalau bukan karena utang budi, kalau  bukan karena engkau ayah angkatku, aku juga akan meninggalkanmu, wahai Ayah. Seperti orang-orang dan tanah leluhur yang telah engkau khianati itu."




_END_











Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)
To Top