AMEERA SENJAKU
Oleh: Ratna Windasari
"Sungguh indah ya, Sayang pemandangan senja hari ini." Aku berkata sambil merapikan syal yang terurai di leher istriku. "Tapi, jauh lebih indah wajahmu," lanjutku merayu.
"Bagaimana mungkin senja yang cantik itu bersanding dengan wajahku yang pucat pasi ini, Mas," lirihnya seraya tersenyum kecut. “Bahkan sehelai rambut pun aku tak punya. Dulu, senjaku dipuja dan dipuji akan keelokannya, tetapi kini cahaya senjaku telah padam bersama dengan kegelapan, senjaku terbuang, senjaku kini hilang. Ameeramu ini sudah tidak bisa apa-apa lagi, Mas. Aku senjamu yang malang."
Ucapannya membuat hati ini terasa ngilu. Aku diam-diam pergi ke belakang. Kupandangi ia dari kejauhan. Sungguh, tak kuasa aku mendengar semua perkataannya itu.
Ameera Amelia, wanita pertama dan terakhir yang singgah di hatiku. Kini, nama itu menetap abadi di relung jiwaku. Suaranya lekat di telinga. Tak ada lagi yang kupinta dari Tuhan, kecuali hanya ingin bersamanya hingga di keabadian. Hampir lima belas tahun aku hidup bagai bayang-bayangnya. Tidak akan pernah kutinggalkan dirinya walau sesaat.
***
Di sepotong pagi yang indah, seindah dirinya setiap kali mata ini memandangi wajahnya. Pagi ini ia sudah menyelesaikan tugasnya di dapur. Urusan perutku selalu menjadi nomor satu baginya. Aku sampai lupa kapan terakhir kali makan di luar, saking lamanya.
"Pagi Sayang, ini semua kamu yang masak?" Aku bertanya seraya mendaratkan satu kecupan di dahinya.
"Iya, Mas, dibantu Bi Nani, kok. Hari ini aku masak menu spesial, loh." Ameera tersenyum lebar, pancaran bahagia terlukis indah di wajahnya. Ia begitu sangat bersemangat pagi ini.
"Wow perfecto." Aku mengucapkannya sambil mengangkat tiga jari dan membentuk lingkaran dengan jempol dan telunjuk. "Sayang, bisakah kamu melakukannya setiap hari untukku?"
"Tentu! Kamu tidak perlu memintanya, Mas. Aku akan memanjakan lidahmu setiap hari." Ia tersenyum simpul kepadaku. Kelihaiannya memasak tidak luntur walaupun sambil duduk di kursi roda.
Setelah semua hidangan kulahap dengan begitu nikmat, dengan berat hati aku harus meninggalkan kekasihku pagi ini.
"Ameera, hari ini aku pulang telat ya, Sayang, karena ada meet up hingga larut malam bersama klien."
"Iya, jaga kesehatanmu, ya, Mas," ucapnya sambil mengecup punggung tanganku.
"Iya, Sayang. Pasti!" Aku menjawab dengan penuh keyakinan. Dia adalah semangat hidupku dalam menjalani hari-hari. Tentu saja aku harus selalu sehat agar bisa menjaganya.
***
"Mas, kok, diputus teleponnya." Ameera tampak kesal dengan tindakanku.
"Mas mendengar percakapanmu barusan." Aku langsung berjalan menuju kamar, dan tak menghiraukannya sama sekali.
"Kenapa memangnya, Mas?" Ameera berusaha bertanya dengan suara pelan. Meskipun sebenarnya dia marah dengan sikapku tadi.
"Maafkan aku, Sayang. Aku sudah bilang, aku tidak mau kita mengadopsi anak. Jika Allah beri kepercayaan itu, Alhamdulillah kita bersyukur. Jika tidak, tidak mengapa, artinya Allah belum percaya. Mas mohon, jangan pernah kamu hubungi panti asuhan manapun lagi, atau kalau tidak, aku akan putus sambungan telepon rumah ini!” Apa yang bisa kulakukan, rasanya cukup lelah berdebat soal ini terus.
"Mas! Mas! dengarkan aku dulu."
.
Larut malam. Purnama dan penghuni langit lainnya enggan muncul ke permukaan. Aku pun kembali ke peraduan. Di keheningan malam, suara lirih membuatku terbangun. Dengan berat kupaksakan membuka kelopak mata. Aku melihat Ameera duduk di atas kursi rodanya.
"Sayang, kamu belum tidur?," tanyaku dengan suara berat. Tapi, aku sempat menangkap wajah bidadari di paras teduhnya. Berbalut mukenah putih bercahaya, tidak ada yang berubah darinya, ia masih tetap sama seperti lima belas tahun yang silam.
"Aku belum mengantuk, Mas," jawabnya.
"Mas tidur saja, besok, kan kerja, aku mau melanjutkan tilawah dulu."
"Mas temenin, ya."
Aku beranjak dari tempat tidur, walau sebenarnya kantuk masih bertengger di pelupuk mata. Tapi, aku tak mungkin membiarkan Ameera dalam kesendirian. Aku bergegas pergi berwudu, lalu sholat malam dan terjaga menemaninya sepanjang malam.
Ya, obat-obatan yang sudah lama ia konsumsi membuat dirinya gelisah. Membaca al Qur'an sebagai salah satu penenang baginya.
"Mas, boleh aku bicara," tanya Ameera pelan usai menutup alQuran-nya.
"Boleh, kamu mau ngomong apa, Sayang? Aku akan selalu menjadi pendengar yang baik untukmu."
"Mas jangan marah, ya!" pintanya ragu-ragu.
"Tidak, Mas tidak akan marah sayang. Ceritalah!"
Aku duduk di atas kasur, tepat di sampingnya. Ameera merebahkan kepala ke pangkuanku.
"Mas, sudah kamu pikirkan tawaranku bulan lalu? tentang Aisyah, sahabatku."
Aku sudah menduga kalau ia akan membahas ini. "Dik, ribuan kali kamu bertanya, ribuan kali itu juga Mas akan menjawab tidak."
"Mas, tolong kamu ngertiin aku, plisss." Ameera memelas sambil mengangkat kepala memohon kepadaku.
"Aku tidak akan mau menikah lagi dan aku tidak mau mengadopsi anak. Tolong Ameera, tolong. Sudahi semua drama konyol ini, kita fokus dengan pengobatanmu, kamu pasti sembuh, Sayang." Aku mencoba menahan diri untuk tidak marah kali ini. Aku tidak suka dengan permintaannya akhir-akhir ini. Aneh, dan tidak masuk akal.
"Mas, tolong dengarkan aku dulu. Mas, lihat aku."
Aku membuang wajah dari pandangannya. Bagaimana mungkin ia bisa berpikir begitu? Terus menerus meminta yang tidak seharusnya.
"Coba Mas pikirkan sekali saja tentang ini. Siapa yang akan menjagamu di hari senjamu, Sayang? siapa yang akan merawatmu? siapa yang akan menemanimu nanti, setelah kepergianku, siapa?"
"Kamu!" Aku menjawabnya dengan lantang. "Kamu yang akan merawatku di hari tua kita. Kamu yang akan menjagaku, dan kamu satu-satunya yang harus mendampingiku!"
"Bagaimana mungkin, Mas? Lima tahun terakhir ini, justru kamu yang merawatku, kamu yang menjagaku, aku tidak bisa melayanimu secara lahir dan batin, aku sudah tidak bisa apa-apa lagi. Aku mohon, mengertilah. Begitu banyak pengorbanan yang telah kamu lakukan untukku, kini izinkan aku berkorban sedikit saja untukmu."
Ameera begitu bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Hal itu membuatku semakin takut. Aku sangat takut dengan ancaman takdir semacam ini.
Bersusah payah menahan diri, akhirnya aku berlalu dan pergi meninggalkannya sendiri. Tak bisa kutahan emosiku jika sudah mendengar ketiadaannya nanti. Aku sungguh tak sanggup Tuhan.
***
Bulan demi bulan berguguran, begitu cepat sekali bergantinya. Masih di tempat yang sama. Di sini. Di ruangan serba putih yang dipenuhi alat-alat medis yang tidak kumengerti apa fungsinya, yang kutahu Ameera bisa bertahan hidup dengan bantuan ini semua. Bahkan sudah seperti rumah sendiri rasanya.
"Mas, kita di mana Mas?" tanya Ameera dengan suara serak. "Jangan bilang kita di Rumah Sakit lagi."
"Bukan, ini bukan Rumah Sakit, Sayang. Ini rumah kedua kita.
"Sama saja, Mas." Ekspresi kecewa terbingkai di wajahnya. "Aku lelah dengan semua ini. Obat-obatan, bau rumah sakit, aku capek. Kita pulang saja ya, Mas. Biarkan aku menikmati sisa hari-hari bersamamu di rumah."
Ameera seperti mengoles bawang ke mataku. Terasa panas dan perih, membuat mataku berair.
"Sayang, Mas keluar dulu ya, sebentar. Mas mau beli buah, kamu harus banyak makanan buah."
Aku hanya beralasan. Ameera hanya mengangguk ringan. Aku segera pergi ke taman untuk sekadar menguatkan hati yang mulai rapuh. Ingin aku berteriak menyalahkan takdir, tapi untuk apa? Semua itu tidaklah berguna.
Ameera istriku, sudah lima tahun terakhir ia menderita tumor di otaknya. Sungguh berat hari-hari yang ia lalui, tidak ada putusnya ia meminum obat-obatan dan tempat yang amat sering kami datangi adalah Rumah Sakit ini, bukan tempat rekreasi yang indah. Wajar Ameera sudah bosan dengan semua ini. Kalaulah bisa aku menggantikannya, biarlah aku yang sakit. Jika aku yang sakit, aku masih bisa melihat senyum dan tawanya, itu sudah menjadi penawar bagiku. Tapi kehendak tuhan siapa yang bisa melarang-Nya.
"Nak Azzam! Ameera Nak." Suara wanita paruh Baya yang sangat kukenal itu terdengar panik memanggilku.
"Ada apa, Bi?"
"Ameera, Nak …"
Belum selesai Bi Nani menjawab, aku langsung berlari ke ruang perawatan.
Namun, sesampainya di sana Dokter melarangku masuk. Ameera, kekasihku sedang kritis di dalam. Dalam sedetik duniaku runtuh. Hancur berkeping-keping.
.
"Bi, aku tidak tau bagaimana denganku nanti, jika Ameera pergi selamanya? Aku tidak mau itu terjadi!"
Ya, aku mulai putus asa.
Tidak ada jawaban dari bibir wanita yang sudah kami anggap ibu itu. Bi Nani pergi. Aku tahu ia sedang berusaha menahan tangisnya. Sebelum aku, Bi Nani lah yang lebih dulu mencintai Ameera. Ia yang merawat Ameera sejak kecil di Panti Asuhan. Lalu, ikut bersama kami saat aku sudah menikahi putrinya.
Kami sama-sama anak panti. Nasib kami sama. Kami berjanji saling setia. Setelah menikah, hampir lima belas tahun lamanya, hari-hariku bahagia, tidak ada satu keluhan pun tentang Ameera. Kini, istriku sedang berjuang sendirian di dalam sana.
"Pak Azzam, mohon maaf, bisa bicara sebentar." Suara Dokter memecah lamunanku.
"A-ada apa, Dok." Segera kuhapus butiran bening yang melesat di pipiku.
"Pak Azzam, mohon maaf, dengan berat hati kami sampaikan. Kami
sudah berusaha melakukan yang terbaik sesuai kemampuan kami. Namun, takdir Tuhan berkehendak lain. Bu Ameera sudah pergi meninggalkan kita semua." Suara dokter itu terdengar pelan, tapi menyayat-nyayat kalbu.
Aku yakin yang aku dengar barusan hanya mimpi.
"Dok, mungkin dokter salah, coba cek lagi. Lakukan apa pun untuk menyelamatkan Ameera. Tolong, selamatkan Ameera-ku, Dok. Tolong! Aku mohon, selamatkan istriku." Aku seperti anak kecil yang merengek minta mainan sambil memelas-melas.
"Pak Azzam yang tabah, doakan Bu Ameera." Lelaki berjas putih itu menepuk bahuku pelan beberapa kali, dan berlalu pergi. Dia … dia tidak bisa membawa istriku kembali. Dokter macam apa mereka?
"Bi, kita akan bawa Ameera ke rumah sakit yang terbaik di dunia ini. Aku yakin ia bisa sembuh. Ameera punyaku, Bi. Dia punyaku."
Kutatap tangan wanita yang sedang terbujur di atas ranjang putih itu. Cantik, dia sangat cantik sekali.
"Bi, tolong ambilkan lipstik Ameera, Bi. Dia pucat sekali. Tolong, Bi."
Wanita itu justru menangis. Padahal aku hanya meminta lipstik. Heran.
"Tolong, Bi!" Ini kali pertama aku menghardiknya.
"Astagfirullah, Nak Azzam. Istighfar, Nak. Sebut asma Allah."
"Ameera itu cuma tidur, Bi. Sebentar lagi dia bangun. Ia sudah berjanji akan selalu bersamaku."
.
*Sejak hari itu, aku tak lagi bisa melihat wanita yang kucintai.
Kini Ameera-ku sudah bahagia di alam yang lain. Aku sendirian di sini berselimut duka, semua tentangmu masih hidup dalam ingatanku, Ameera.
"Mas Azzam tercinta, tetaplah bahagia, mulailah buka lembaran baru dalam hidupmu, maafkan aku yang selalu memaksamu untuk menikah lagi, dan memaksamu untuk mengadopsi anak, karena aku tahu, aku tidak bisa memberikan kesempurnaan dalam hidupmu. Aku hanya tidak ingin engkau dalam kesendirian di hari senjamu. Aku mohon hiduplah bahagia demi aku Ameeramu.
"O, ya, kalau kamu rindu padaku, temui aku di senja jingga tempat kita biasa memadu cinta."
Kulipat secarik kertas bersama dengan air mata yang hampir mengering.
Semua sudah kehendak-Nya. Mengutuk takdir aku tak mampu. Sudah lama dirimu berjuang melawan keganasan tumor yang bersarang di otakmu. Aku tahu, dirimu sudah lelah, sayang. Kamu sudah tidak merasakan sakit lagi.
Kebersamaan Kita selama ini telah kuarsipkan di sudut hatiku, tidak ada yang bisa mengusiknya walau sesaat.
Kini, aku sendiri berteman dengan Senjamu. Danau ini menjadi saksi kekuatan hati tanpamu di sisiku, Sayang.
Aku, akan terus di sini. Menepi dari hiruk pikuk fatamorgana dunia. Mengenang keabadian cinta kita berdua.
Ameera, aku yang merinduimu, tetapi Tuhan lebih rindu kepadamu. Aku ikhlas kamu pergi ke haribaan Ilahi. Aku akan selalu duduk di sini bersama senjamu, sayang.
Ameera senjaku, kudoakan surga tempat kembalimu. Aku meminta kepada Tuhan, agar mengizinkan aku untuk kembali bersama denganmu, menatap senja berdua di surga.
Padang, 11 September 2022