Baju, Tas dan Sepatu Baru Ahkam

0




September, 24-09-2022




"Aduh." 

"Ha ha ha. Makanya, kalau jalan lihat-lihat. Bukan bajunya aja yang lusuh, matanya juga rabun," kata  Rehan sambil tertawa terbahak-bahak bersama teman-temannya.

Tak lama kemudian, Hasan datang membantuku berdiri. "Nanti aku bilangin sama Pak Guru, loh, kalau kalian jahat dan sudah mendorong Ahkam sampai terjatuh."

"Siapa yang dorong? Kamu jangan asal nuduh, ya!" teriak Rehan.

"Sudahlah Hasan, kita ke kelas saja," ujarku sambil menyeringai karena sakit. Kemudian Hasan segera memapahku berjalan ke kelas meninggalkan mereka. 

"Ahkam, ini gak bisa dibiarin, mereka sudah keterlaluan. Mereka mengejekmu kumal. Terus jahilin kamu. Buku PR kamu juga dibuang ke tong sampah, akhirnya kamu dihukum. Kita laporin aja ke Wali Kelas, biar mereka kapok." Aku melihat Hasan begitu marah dan kesal.

Aku hanya terdiam sambil menikmati rasa sakit di lututku. 

***

Seperti biasanya, selepas salat Subuh Ayah bersiap-siap pergi mengojek. Ada atau tidak orderan, kata Ayah kita harus tetap berusaha, bertebaran di muka bumi untuk mengais rezeki. 

Sebenarnya aku mau minta sesuatu kepada Ayah, sudah hampir tiga tahun belum diganti. Terakhir kali saat aku duduk di kelas dua.  Pantas saja teman-teman menertawakanku.

"Ayah, aku ingin seragam, tas, dan sepatu baru," ucapku dalam hati sambil mencium tangannya. Aku tidak berani menyampaikannya langsung. 

Aku tidak tahu, bagaimana menghadapi ejekan teman-teman di sekolah mengenai bajuku yang sudah terlihat lusuh, sepatuku yang bolong serta tasku yang menganga.

"Bu, apa boleh Ahkam minta sesuatu?"

"Apa itu, Nak? tanya Ibu sambil menyiapkan sarapan pagi untuk aku dan adik-adik."

Aku ragu mengatakannya. Lidahku jadi terbata-bata. "Em, apa boleh Ahkam minta tolong dibelikan perlengkapan sekolah yang baru, Bu?"

Ibu tersenyum. "Kenapa? Ahkam diejek lagi sama teman-teman?"

Aku mengangguk pelan sambil duduk di kursi kayu yang sudah reyot.

"Ahkam, Ibu ada cerita. Ahkam mau dengar?" tanya Ibu dengan lembut.

"Mau, Bu." Aku menjawab dengan penuh semangat.

Lalu, Ibu bercerita tentang kisah salah seorang anak dari Khalifah Umar Bin Khattab, yang minta dibelikan baju baru karena diolok-olok oleh teman-temannya sebab bajunya jelek dan penuh tambalan.

"Lalu, apa tanggapan ayahnya, Bu?"

"Sang Khalifah menyuruh anaknya pergi ke Baitul Mal. Lalu, menyampaikan pesan kalau ayahnya meminta gaji lebih awal." 

"Terus, Bu?" Aku jadi semakin penasaran. Aku yakin pasti dikasih, ayahnya kan seorang pemimpin.

"Nah, saat tiba di Baitul Mal, sang Bendahara berkata begini: Sampaikan salamku kepada ayahmu Amirul Mukminin. Apa ada jaminan bahwa ayahmu masih hidup sampai akhir bulan ini, sehingga dia bisa melunasinya?"

Perlahan aku mencerna kalimat Ibu barusan. "Artinya gak dikasih ya, Bu?"

Ibu tersenyum sambil duduk di sampingku. Ia merangkulku dalam pelukannya, kemudian melanjutkan ceritanya.

"Nak, dari kisah itu kita dapat belajar, bahwa bukan hanya Ahkam saja yang diejek. Anak Khalifah Umar juga pernah. Karena sang Khalifah takut kepada Allah, akhirnya mereka memilih bersabar dengan keadaan. Sang Khalifah tidak mau berhutang, ia khawatir jika nanti usianya tidak sampai hingga hutangnya lunas."

Aku menunduk, wajah ayah terlintas di kepalaku. Aku tidak ingin Ayah terbebani dengan semua permintaanku dan menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan kami.

"InsyaAllah, kalau ada rezeki Ayah akan membelikan perlengkapan baru untuk Ahkam. Sabar, ya, Nak."

"Iya, Bu. Ahkam mengerti sekarang."

"Pesan Ibu, jangan pernah Ahkam membalas ejekan teman-teman. Mereka berkata begitu karena tidak tahu kondisi kita. Maafkan teman-teman Ahkam, ya."

Aku mengangguk, berjanji untuk tidak membenci teman-teman yang sudah mengolok-olokku dan bersabar karenanya.  

***

Pagi ini  Pak Guru membagi kelompok belajar. Di antara kami, aku dipilih menjadi ketua kelompok yang di dalamnya ada Rehan dan kawan-kawannya yang selalu mengejekku. Aku ingin menolak, tetapi aku takut mengatakannya, nanti Pak guru pasti akan bertanya kenapa aku tidak mau satu kelompok dengan mereka. 

Di tengah pelajaran, aku melihat Rehan dan teman-temannya merasa kesulitan menyelesaikan tugas.

"Ahkam, tolong bantu teman kelompoknya, ya, Nak," kata Pak Guru. Sebagai ketua kelompok aku bertanggung jawab membantu kelompokku. 

"Sini aku bantu," kataku menawarkan diri kepada Rehan. 

Lalu, aku pun menggeser bangku ke samping Rehan. Bahu kami beradu. Rehan menatapku dengan sedikit kesal, tetapi aku tidak peduli. Tugasku membantu mereka seperti yang disuruh Pak Guru. 

Perlahan aku menjelaskan pelajaran kepada mereka. Sampai di akhir kelas,  kelompok kami dinyatakan mendapat nilai tertinggi. Tanpa sadar kami saling berangkulan dan gembira. 

"Ahkam, apa engkau akan mengejek kami bodoh, karena ...?" tanya Rehan sambil menunduk setelah melepas rangkulannya dari kami.

"Teman-teman, kita tidak boleh saling merendahkan. Di mata Allah semuanya sama. Aku memang marah saat kalian mengolok-olokku, tetapi aku memilih diam dan bersabar. Dan aku tidak ingin membalas dengan perbuatan yang sama."

"Ahkam, maafkan aku yang sudah menghasut teman-teman agar memusuhimu. Sebenarnya, aku iri dengan kepintaranmu," ungkap Rehan sambil menunduk malu.

Aku langsung memeluk Rehan dan diikuti oleh teman-teman yang lainnya. "Mulai saat ini kita adalah teman." 

Waktu telah berganti, kami terus berteman baik. Hari ini aku senang, akhirnya aku bisa memakai baju, tas dan sepatu baru. Memang bukan dari Ayah, tetapi ini hadiah dari lomba cerdas cermat yang aku menangkan minggu lalu. 

Benar kata Ibu, "kalau sabar, kita pasti beruntung."


Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)
To Top